Teknologi
Pengelolaan Lahan Kering
a. Teknologi
Pengapuran, Pemupukan dan Pemberian Bahan Organik
Pemberian kapur dan pupuk hijau meningkatkan pertumbuhan
dan hasil kedele (Hartatik, 1987). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengapuran
setara 1-2 kali Al-dd dapat menurunkan kejenuhan Aluminium sampai bawah batas
toleransi tanaman kedele dan pemberian pupuk hijau dapat mengurangi jumlah
kebutuhan kapur.
Safuan (2002) menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan
peroduktifitas sistem pertanian lahan kering masam di daerah tropika secara
berkelanjutan dapat dilakukan melalui: (1) pemulsaan dan pengolahan tanah, (2)
penambahan bahan organik, kapur dan pupuk NPK, (3) optimalisasi pola tanam, dan
(4) konservasi tanah.
b. Teknologi Konservasi
Tanah dan Air
Pengolahan tanah konservasi (conservation tillage) adalah
setiap cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk mengurangi besarnya erosi,
aliran permukaan dan, kalau mungkin, dapat mempertahankan atau meningkatkan
produksi (Sinukaban, 1990). Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk memenuhi
kriteria tersebut pengolahan tanah harus dapat menghasilkan permukaan tanah
yang kasar sehingga simpanan depresi dan infiltrasi meningkat, serta dapat
meninggalkan sisa-sisa tanaman dan gulma pada permukaan tanah agar dapat
menahan energi butir hujan yang jatuh. Hal ini menjadi penting pada masa
pertanaman, karena pada saat tersebut intensitas hujan umumnya sudah besar dan
tidak ada tajuk tanaman yang dapat menahan energi butir hujan yang jatuh.
Menurut Arsyad(1983), usaha-usaha pengawetan (konservasi)
tanah ditujukan untuk: (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki
tanah yang rusak, (3) dan menetapkan kelas kemampuan tanah dan
tindakan-tindakan atau perlakuan agar tanah tersebut dapat dipergunakan untuk
waktu yang tidak terbatas (berkelanjutan). Selanjutnya dikemukakan bahwa
pengawetan air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah
seefisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir
yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.
Tiap kelas penggunaan tanah memerlukan teknik pengawetan
tanah tertentu. Adapun teknik pengawetan tanah dapat dibagi dalam tiga golongan
utama, yaitu (1) metoda vegetatif, (2) metoda mekanik dan (3) metoda kimia
(Arsyad, 1983). Metoda yang lazim dipraktekan di Indonesia umumnya adalah
metoda vegetatif yang seringkali dikombinasikan dengan metoda mekanik, misalnya
penanaman penutup tanah sebagai penguat teras atau sebagai penutupan permukaan
dari hantaman butir hujan, pengolahan tanah dan penanaman menurut kontur,
sistem pertanaman lorong (Alley Cropping) sampai kepada sistem yang paling
sederhana yaitu penggunaan mulsa.
Teknik budidaya lorong sebagai salah satu teknik
konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada
lahan kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan secara meluas oleh
petani (Juo, Caldwell, dan Kang, 1994). Pada budidaya lorong konvensional,
tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar
yang ditanam menurut kontur. Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat
menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya,
sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang
lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa
tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.
Efektivitas budidaya lorong pada lahan pertanian
berlereng miring dalam pengendalian aliran permukaan dan erosi ditentukan oleh
perkembangan tanaman pagar serta jarak antar barisan tanaman pagar. Pada awal
penerapan budidaya lorong aliran permukaan dan erosi dapat menerobos tanaman
pagar yang belum tumbuh merapat, meskipun ditanam lebih dari satu baris
tanaman. Pada kondisi demikian, tanaman pagar kurang efektif dalam menghambat
aliran permukaan dan menjaring sedimen yang terangkut, sehingga dapat
menghanyutkan pupuk dan bahan organik. Setelah tanaman pagar berkembang,
persaingan penyerapan air, unsur hara dan sinar matahari antara tanaman pagar
dengan tanaman budidaya dapat mengurangi produksi tanaman yang dibudidayakan
(Brata, 2001).
Thorne dan Thorne (1978) dalam Hafif (1992)
mengemukakan terdapat lima praktek pengelolaan lahan yang dapat mengurangi
erosi yaitu: (1) vegetasi (2) sisa tanaman, (3) pengelolaan tanah, (4) efek
sisa dari rotasi tanaman, dan (5) praktek pendukung mekanik.
c. Teknologi Konservasi
Hedgerows
Upaya memperbaiki lahan marginal dan kritis sebenarnya telah
dilakukan pemerintah sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu melalui reboisasi dan
penghijauan, tatapi upaya tersebut masih jauh dari berhasil. Demikian pula
anjuran pembuatan teras juga masih dianggap mahal dan pemborosan tenaga bagi
petani (Nurhayati Hakim et al., 1993). Kegiatan konservasi tanah akan
mudah diterapkan petani jika selain efektif dalam mengendalikan erosi,
produktivitas lahan juga dapat ditingkatkan. Berbagai penelitian menyebutkan
bahwa metode vegetatif banyak direkomendasikan karena selain dapat menekan
erosi juga dapat menjamin peningkatan produktivitas lahan (Abdurrachman et
al., 1984; Sukmana dan Suwardjo, 1991).
Selama ini sebenarnya sudah cukup banyak paket teknologi
usahatani konservasi yang telah dikembangkan, namun untuk menciptakan sistem
pertanian lestari secara mandiri tidaklah cukup hanya dengan satu usaha saja.
Teknologi konservasi hedgerows adalah salah satu komponen usaha
pelestarian yang harus dipadukan dengan serangkaian kegiatan yang bersifat
teknis, sosial budaya, dan kebijaksanaan. Teknologi konservasi hedgerows
secara teknis mencerminkan bentuk-bentuk pagar hidup dari tanaman legum pohon,
tanaman penguat teras, dan tanaman penutup tanah yang diatur mengikuti
garis-garis kontur (Ginting dan Sukandi, 1992; Sudaryono, 1995).
Menurut Hawkins et al (1991), usahatani dengan teknologi
konservasi hedgerows merupakan suatu praktek usahatani dengan memadukan
tindakan konservasi secara sipil teknis (mekanik) dan biologis (vegetatif)
dengan pengaturan tata ruang tanaman semusim, tanaman tahunan, tanaman legum
untuk konservasi sekaligus sebagai penghasil pupuk organik dan hijauan pakan
ternak, serta rumput; dengan memperhatikan bentuk muka dan ciri bentang lahan.
Sistem tanam pada usahatani konservasi dengan teknologi hedgerows
merupakan kombinasi antara tanaman penguat teras, tanaman penutup tanah,
tanaman semusim, dan tanaman tahunan. Tanaman semusim dan tanaman tahunan
merupakan tanaman yang biasa diusahakan petani setempat. Tanaman semusim
terdiri atas tanaman serealia dan palawija, seperti padi gogo, jagung, kedelai,
kacang tanah, kacang hijau, dan ubi kayu. Sedangkan tanaman tahunan diantaranya
mangga, petai, nangka, melinjo, dan kelapa (Sudaryono,
1995). Adapun jenis-jenis tanaman yang umum digunakan dalam tanaman pagar, penguat
teras dan penutup tanah, meliputi: (a) jenis leguminosa perdu maupun pohon yang
sering digunakan sebagai penguat teras dan tanaman pagar dalam sistem
pertanaman lorong, seperti: Lamtoro, Kaliandra, Flemingia, Gliriside, dan
Hiris; (b) jenis rumput yang sering digunakan sebagai tanaman penguat teras,
yaitu meliputi jenis rumput yang ditanam di bibir teras (biasanya rumput yang
membentuk rumpun seperti rumput gajah, setaria, dan benggala), dan jenis rumput
yang ditanam di tampingan teras (biasanya tumbuh menjalar seperti Brachiaria
sp, Cynodon dactylon, Paspalum conjugatum, Penicum repens); dan (c) tanaman
penutup tanah, diantaranya Mucuna sp dan Centrosema sp
(Abdurrachman dan Prawiradiputra, 1995; Sudaryono,1995).
Teknologi konservasi hedgerow mempunyai peluang besar untuk
diadopsi petani lahan kering, karena tanaman hedgerows selain berfungsi
mengendalikan aliran permukaan dan erosi, juga memproduksi biomassa pertanian
yang berguna untuk rehabilitasi dan penyubur tanah, menghasilkan hijauan pakan
ternak yang kaya nutrisi, dan menghasilkan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga
dan industri pedesaan (pembakaran bata merah, batu gamping, dan sebagainya).
Pola usahatani
dengan teknologi hedgerows melibatkan beberapa jenis tanaman akan
menghasilkan ekosistem yang saling menguntungkan, misalnya residu atau daun
yang diambil dari hasil pangkasan tanaman pagar yang dilakukan secara periodik
dapat dipakai sebagai mulsa atau dimasukkan ke dalam tanah sebagai pupuk hijau
bagi tanaman semusim (Baldy and Stigter, 1997). Hasil pangkasan pupuk hijau
yang dipakai sebagai mulsa akan dapat mengurangi penguapan lengas tanah,
mengendalikan gulma, dan menstabilkan suhu tanah daerah perakaran sehingga
memberi jaminan pertumbuhan akar tanaman secara baik (Hawkins et al.,
1991).
d. Teknologi Usahatani
Terpadu
Menurut Abdurrachman et al., (1997), petani lahan
kering tidak mungkin hidup jika ekonomi rumah tangganya hanya tergantung kepada
hasil tanaman. Oleh karena itu menurut Abdurrachman et al., (1997)
pendekatan yang tepat untuk menjawab tantangan tersebut di atas adalah melalui
pendekatan sistem usahatani yang memadukan komoditas tanaman pangan/semusim
dengan tanaman tahunan dan ternak dalam suatu model usahatani yang serasi
dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki petani.
Model usahatani terpadu yang dikemukakan oleh Abdurrachman
et al., (1997) meliputi padi gogo dan palawija (tanaman pangan) yang
diatur penanamannya dalam pola tanam setahun, disesuaikan dengan pola curah
hujannya seluas 1 ha, tanaman karet seluas 1 ha dan saat penelitian dimulai
sudah siap sadap serta ternak yang awalnya terdiri atas 1 ekor sapi, 3 ekor
kambing dan 11 ekor ayam buras. Dengan menerapkan model usahatani tersebut
pendapatan petani meningkat dari 1.4 juta/tahun pada tahun 1988\1989 menjadi
2.3 juta/tahun pada tahun 1990\1991, sedangkan pendapatan petani yang tidak
menerapkan teknologi model usaha tani tersebut berkisar antara 1,1-1,2
juta/tahun.
Dalam model usahatani ini juga terdapat interaksi
komplementer antara pengusahaan tanaman dan ternak. Tanaman pangan semusim
menghasilkan sisa tanaman (biomass) yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan
tambahan, di samping rumput atau tanaman pakan (glyricideae atau flemingia)
yang sengaja ditanam juga untuk mencegah erosi, sementara ternak memberikan
tenaga dan kotoran yang dapat dijadikan pupuk untuk menunjang produksi tanaman.
Dengan demikian komoditas tanaman dan ternak ini dapat saling mendukung sistem produksi
terlanjutkan (berkelanjutan) apabila dikelola dengan baik. Ditinjau dari
kemampuannya dalam meningkatkan produksi dan pendapatan, menurut Abdurrachman et
al., (1997), modal usahatani yang melibatkan tanaman dan ternak tersebut
sangat tepat dikembangkan di lahan kering termasuk di wilayah Timur Indonesia.
Namun demikian, pemilihan jenis taaman dan ternaknya disesuaikan dengan kondisi
ekonsistem dan peluang pasar setempat.
Dengan adanya sistem usaha pertanian terpadu, maka
diharapkan akan diperoleh keuntungan, antara lain: meningkatkan populasi
ternak, buah-buahan, membuka lapangan kerja di pedesaan, keberhasilan
konservasi tanah dan air, peningkatan pendapatan/kesejahteraan petani lahan
kering (Akhadiarto, 1997).
e. Seleksi Tanaman
Adaptif Pada Kondisi Cekaman Lingkungan
Masalah mendasar dan tantangan berat yang harus dihadapi
pada lahan kritis adalah bagaimana mengubah lahan tersebut menjadi lahan
produktif dan bagaimana menghambat agar lahan kritis tidak semakin meluas.
Karena itu berbagai teknik rehabilitasi dan sistem budidaya yang tepat telah
banyak dicobakan pada lahan kritis tersebut.
Upaya-upaya yang selama ini dilakukan membutuhkan biaya
yang cukup besar dan memerlukan dukungan semua pihak serta perlu dukungan ahli
ekofisiologi dan pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas tanaman pangan
yang adaptif pada lahan kritis yang memiliki karakteristik cekaman lingkungan
tertentu (kesuburan rendah, ketersediaan air terbatas/berlebih dan lain-lain).
Tanaman pangan adaptif yang dimaksud adalah tanaman yang di satu sisi mampu
beradaptasi dan di sisi lain mampu berproduksi secara optimal sehingga dapat
diharapkan sebagai penyedia pangan di masa mendatang.
Pemuliaan tanaman konvensional akan tetap memegang
peranan utama dalam perbaikan varietas. Berbagai kelemahan dan keterbatasan
cara ini dapat diatasi dengan bantuan bioteknologi. Secara bertahap,
bioteknologi akan dikembangkan untuk mendapatkan atau memindahkan gen tertentu
untuk menghasilkan varietas baru dengan sifat-sifat yang diinginkan. Meningkatkan
produktivitas melalui rekayasa genetik merupakan suatu keuntungan tambahan
dalam perbaikan sifat tanaman sehingga varietas yang dihasilkan diharapkan
dapat lebih efisien memanfaatkan hara, tahan terhadap hama dan penyakit serta
deraan lingkungan (Manwan, 1993).
Informasi mengenai sifat-sifat yang mudah teramati dapat
dijadikan penduga bagi sifat yang dituju dalam seleksi tanaman adaptif. Semakin
erat hubungan antara sifat penduga dengan sifat yan dituju, maka akan semakin
memudahkan proses seleksi. Sifat-sifat yang berperan menentukan adaptif
tidaknya suatu tanaman yang ekspresinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Oleh sebab itu fenotipe yang ditemui di lapangan akan sangat beragam. Adapun
syarat-syarat seleksi tanaman adaptif terhadap lingkungan kritis adalah tahan
terhadap pH tanah rendah, toleran terhadap cekaman air, tahan terhadap
defisiensi hara terutama N dan P dan lain-lain.