Sabtu, 31 Mei 2014

PENGEMBANGAN FUNGSI PENYANGGA 
KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
Oleh Adhari, SST

Masyarakat Kabupaten Kuningan saat ini mulai menyadari pentingnya melindungi sumberdaya alam serta keaneka ragaman hayati  dalam bentuk dukungan terhadap penetapan status Kawasan Gunung Ciremai menjadi Kawasan Konservasi (Taman Nasional Gunung Ciremai / TNGC). Dukungan masyarkat tersebut, juga ditindak lanjuti dengan berhentinya pengolahan lahan dalam kawasan TNGC oleh para petani yang tinggal di sekitar kawasan. 

Perubahan sikap masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan TNGC untuk tidak lagi mengolah tanah di dalam kawasan TNGC perlu diimbangi dengan kebijakan pemerintah. Pemerintah harus mengupayakan pengembangan daerah penyangga sebagai tempat berusaha alternatif  yang memiliki nilai ekonomi dan memiliki kemampuan meningkatkan tarap hidup masyarakat.

Daerah penyangga dapat didefinisikan sebagai kawasan yang berdekatan dengan kawasan yang dilindungi, yang penggunaan tanahnya terbatas, untuk memberikan lapisan perlindungan tambahan bagi kawasan yang dilindungi dan sekaligus bermanfaat bagi masyarakat pedesaan di sekitarnya.

Memperhatikan definisi di atas, maka daerah penyangga memiliki tiga fungsi yaitu :
  1. Fungsi penyangga perluasan, yang pada hakekatnya memperluas kawasan habitat yang terdapat dalam kawasan yang dilindungi ke dalam daerah penyangga. Ini memungkinkan bertambah besarnya total populasi tumbuhan dan satwa yang berembang biak.
  2. Fungi penyangga sosial, dimana pemanfaatan sumberdaya alam dari daerah penyangga merupakan hal yang sekunder dan tujuan utama pengelolaan adalah penyediaan produk yang dapat digunakan atau berharga bagi masyarakat setempat. Fungsi utama penyangga sosial adalah untuk menjamin agar penduduk pedesaan tidak perlu mencari kayu bakar atau hasil hutan lainnya ke dalam kawasan.
  3. Fungi penyangga ekonomi, diperlukan untuk mengurangi keperluan masyarakat desa mengambil sumberdaya dari dalam kawasan yang dilindungi. Hal ini dapat berbentuk bantuan khusus pertanian atau bantuan pendampingan.

Rabu, 28 Mei 2014

PENETAPAN METODE PENYULUHAN KEHUTANAN



MENETAPKAN METODE PENYULUHAN KEHUTANAN
BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN
KABAUPATEN KUNINGAN
Oleh : Adhari, SST
Penyuluh Kehutanan Muda

KEBIJAKAN
STRATEGI
PROGRAM
Leuweung Hejo Rakyat Ngejo

-          Rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan
-     Optimalisasi pemanfaatan lahan dengan penerapan kaidah-kaidah konservasi
-          Pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan
-     Pengembangan materi dan metoda penyuluhan kehutanan


Kabupaten Kuningan memiliki luas wilayah 177.857,55 ha. Dari luasan tersebut 25,23% berupa lahan basah (sawah), 23,74% berupa tegalan/kebun campuran dan hampir 32% berupa hutan. Sedangkan areal lain berupa permukiman kurang dari 10%. Berdasarkan tataguna lahan tersebut, Kabupaten Kuningan didominasi oleh hutan dengan luas mencapai 50.447,77 ha yang terdiri dari hutan negara seluas 35.000,84 ha dan hutan hak (milik) 15.466,93 ha.
Kondisi lingkungan tersebut secara keseluruhan menempatkan Kabupaten Kuningan dalam posisi yang strategis dari sisi perannya dalam pembangunan wilayah, yaitu sebagai penyokong atau Hinterland dan sekaligus sebagai daerah sistem penyangga kehidupan bagi masyarakat di wilayah Cirebon, Majalengka, dan Indramayu. Basis alam yang dimiliki oleh Kabupaten Kuningan, salah satu fungsinya adalah sebagai daerah tangkapan air (catchment area).
Namun demikian, disisi lain telah terjadi perubahan lingkungan sosial yang dicirikan dengan tingginya penggunaan lahan untuk pemukiman. Hal ini berdampak terhadap makin berkurangnya ruang terbuka hijau dan makin sempitnya lahan pertanian sehingga terjadi penggunaan lahan diluar batas kemampuannya (penggunaan lahan dengan kemiringan curam untuk budidaya tanaman semusim). Hal ini memicu bertambahnya lahan kritis baru sehingga diperlukan suatu kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. 
Strategi yang ditempuh berupa optimalisasi pemanfaatan lahan dengan penerapan kaidah-kaidah konservasi seperti pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan dan pengembangan aneka usaha kehutanan yang diiringi dengan upaya peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan para pelakunya melalui penyuluhan.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam rangka rehabilitasi lahan kritis dapat dilakukan melalui penerapan metoda penyuluhan.
Matrik di bawah ini akan memberikan gambaran strategi  dalam menentukan pilihan metoda yang efektif dalam pemberdayaan masyarakat dalam rangka kegiatan rehabilitasi lahan kritis, sbb :
Jenis Sasaran
Strategi
Metoda yang efektif
Pengetahuan
Pengalihan informasi dari luar
Penyebaran informasi melalui leaflet, dan kursus tani.
Keterampilan
Latihan-latihan keterampilan
Metoda yang mendorong aksi seperti demontrasi cara/hasil.
Sikap
Belajar berdasarkan pengalaman
Diskusi kelompok, dialog, simulasi

Rabu, 07 Mei 2014



Teknologi Pengelolaan Lahan Kering
a. Teknologi Pengapuran, Pemupukan dan Pemberian Bahan Organik
Pemberian kapur dan pupuk hijau meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedele (Hartatik, 1987). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengapuran setara 1-2 kali Al-dd dapat menurunkan kejenuhan Aluminium sampai bawah batas toleransi tanaman kedele dan pemberian pupuk hijau dapat mengurangi jumlah kebutuhan kapur.
Safuan (2002) menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan peroduktifitas sistem pertanian lahan kering masam di daerah tropika secara berkelanjutan dapat dilakukan melalui: (1) pemulsaan dan pengolahan tanah, (2) penambahan bahan organik, kapur dan pupuk NPK, (3) optimalisasi pola tanam, dan (4) konservasi tanah.
b. Teknologi Konservasi Tanah dan Air
Pengolahan tanah konservasi (conservation tillage) adalah setiap cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk mengurangi besarnya erosi, aliran permukaan dan, kalau mungkin, dapat mempertahankan atau meningkatkan produksi (Sinukaban, 1990). Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk memenuhi kriteria tersebut pengolahan tanah harus dapat menghasilkan permukaan tanah yang kasar sehingga simpanan depresi dan infiltrasi meningkat, serta dapat meninggalkan sisa-sisa tanaman dan gulma pada permukaan tanah agar dapat menahan energi butir hujan yang jatuh. Hal ini menjadi penting pada masa pertanaman, karena pada saat tersebut intensitas hujan umumnya sudah besar dan tidak ada tajuk tanaman yang dapat menahan energi butir hujan yang jatuh.
Menurut Arsyad(1983), usaha-usaha pengawetan (konservasi) tanah ditujukan untuk: (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, (3) dan menetapkan kelas kemampuan tanah dan tindakan-tindakan atau perlakuan agar tanah tersebut dapat dipergunakan untuk waktu yang tidak terbatas (berkelanjutan). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengawetan air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.
Tiap kelas penggunaan tanah memerlukan teknik pengawetan tanah tertentu. Adapun teknik pengawetan tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu (1) metoda vegetatif, (2) metoda mekanik dan (3) metoda kimia (Arsyad, 1983). Metoda yang lazim dipraktekan di Indonesia umumnya adalah metoda vegetatif yang seringkali dikombinasikan dengan metoda mekanik, misalnya penanaman penutup tanah sebagai penguat teras atau sebagai penutupan permukaan dari hantaman butir hujan, pengolahan tanah dan penanaman menurut kontur, sistem pertanaman lorong (Alley Cropping) sampai kepada sistem yang paling sederhana yaitu penggunaan mulsa.
Teknik budidaya lorong sebagai salah satu teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani (Juo, Caldwell, dan Kang, 1994). Pada budidaya lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.
Efektivitas budidaya lorong pada lahan pertanian berlereng miring dalam pengendalian aliran permukaan dan erosi ditentukan oleh perkembangan tanaman pagar serta jarak antar barisan tanaman pagar. Pada awal penerapan budidaya lorong aliran permukaan dan erosi dapat menerobos tanaman pagar yang belum tumbuh merapat, meskipun ditanam lebih dari satu baris tanaman. Pada kondisi demikian, tanaman pagar kurang efektif dalam menghambat aliran permukaan dan menjaring sedimen yang terangkut, sehingga dapat menghanyutkan pupuk dan bahan organik. Setelah tanaman pagar berkembang, persaingan penyerapan air, unsur hara dan sinar matahari antara tanaman pagar dengan tanaman budidaya dapat mengurangi produksi tanaman yang dibudidayakan (Brata, 2001).
Thorne dan Thorne (1978) dalam Hafif (1992) mengemukakan terdapat lima praktek pengelolaan lahan yang dapat mengurangi erosi yaitu: (1) vegetasi (2) sisa tanaman, (3) pengelolaan tanah, (4) efek sisa dari rotasi tanaman, dan (5) praktek pendukung mekanik.