Rabu, 07 Mei 2014



Teknologi Pengelolaan Lahan Kering
a. Teknologi Pengapuran, Pemupukan dan Pemberian Bahan Organik
Pemberian kapur dan pupuk hijau meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedele (Hartatik, 1987). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengapuran setara 1-2 kali Al-dd dapat menurunkan kejenuhan Aluminium sampai bawah batas toleransi tanaman kedele dan pemberian pupuk hijau dapat mengurangi jumlah kebutuhan kapur.
Safuan (2002) menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan peroduktifitas sistem pertanian lahan kering masam di daerah tropika secara berkelanjutan dapat dilakukan melalui: (1) pemulsaan dan pengolahan tanah, (2) penambahan bahan organik, kapur dan pupuk NPK, (3) optimalisasi pola tanam, dan (4) konservasi tanah.
b. Teknologi Konservasi Tanah dan Air
Pengolahan tanah konservasi (conservation tillage) adalah setiap cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk mengurangi besarnya erosi, aliran permukaan dan, kalau mungkin, dapat mempertahankan atau meningkatkan produksi (Sinukaban, 1990). Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk memenuhi kriteria tersebut pengolahan tanah harus dapat menghasilkan permukaan tanah yang kasar sehingga simpanan depresi dan infiltrasi meningkat, serta dapat meninggalkan sisa-sisa tanaman dan gulma pada permukaan tanah agar dapat menahan energi butir hujan yang jatuh. Hal ini menjadi penting pada masa pertanaman, karena pada saat tersebut intensitas hujan umumnya sudah besar dan tidak ada tajuk tanaman yang dapat menahan energi butir hujan yang jatuh.
Menurut Arsyad(1983), usaha-usaha pengawetan (konservasi) tanah ditujukan untuk: (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, (3) dan menetapkan kelas kemampuan tanah dan tindakan-tindakan atau perlakuan agar tanah tersebut dapat dipergunakan untuk waktu yang tidak terbatas (berkelanjutan). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengawetan air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.
Tiap kelas penggunaan tanah memerlukan teknik pengawetan tanah tertentu. Adapun teknik pengawetan tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu (1) metoda vegetatif, (2) metoda mekanik dan (3) metoda kimia (Arsyad, 1983). Metoda yang lazim dipraktekan di Indonesia umumnya adalah metoda vegetatif yang seringkali dikombinasikan dengan metoda mekanik, misalnya penanaman penutup tanah sebagai penguat teras atau sebagai penutupan permukaan dari hantaman butir hujan, pengolahan tanah dan penanaman menurut kontur, sistem pertanaman lorong (Alley Cropping) sampai kepada sistem yang paling sederhana yaitu penggunaan mulsa.
Teknik budidaya lorong sebagai salah satu teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani (Juo, Caldwell, dan Kang, 1994). Pada budidaya lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.
Efektivitas budidaya lorong pada lahan pertanian berlereng miring dalam pengendalian aliran permukaan dan erosi ditentukan oleh perkembangan tanaman pagar serta jarak antar barisan tanaman pagar. Pada awal penerapan budidaya lorong aliran permukaan dan erosi dapat menerobos tanaman pagar yang belum tumbuh merapat, meskipun ditanam lebih dari satu baris tanaman. Pada kondisi demikian, tanaman pagar kurang efektif dalam menghambat aliran permukaan dan menjaring sedimen yang terangkut, sehingga dapat menghanyutkan pupuk dan bahan organik. Setelah tanaman pagar berkembang, persaingan penyerapan air, unsur hara dan sinar matahari antara tanaman pagar dengan tanaman budidaya dapat mengurangi produksi tanaman yang dibudidayakan (Brata, 2001).
Thorne dan Thorne (1978) dalam Hafif (1992) mengemukakan terdapat lima praktek pengelolaan lahan yang dapat mengurangi erosi yaitu: (1) vegetasi (2) sisa tanaman, (3) pengelolaan tanah, (4) efek sisa dari rotasi tanaman, dan (5) praktek pendukung mekanik.

c. Teknologi Konservasi Hedgerows
Upaya memperbaiki lahan marginal dan kritis sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu melalui reboisasi dan penghijauan, tatapi upaya tersebut masih jauh dari berhasil. Demikian pula anjuran pembuatan teras juga masih dianggap mahal dan pemborosan tenaga bagi petani (Nurhayati Hakim et al., 1993). Kegiatan konservasi tanah akan mudah diterapkan petani jika selain efektif dalam mengendalikan erosi, produktivitas lahan juga dapat ditingkatkan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa metode vegetatif banyak direkomendasikan karena selain dapat menekan erosi juga dapat menjamin peningkatan produktivitas lahan (Abdurrachman et al., 1984; Sukmana dan Suwardjo, 1991).
Selama ini sebenarnya sudah cukup banyak paket teknologi usahatani konservasi yang telah dikembangkan, namun untuk menciptakan sistem pertanian lestari secara mandiri tidaklah cukup hanya dengan satu usaha saja. Teknologi konservasi hedgerows adalah salah satu komponen usaha pelestarian yang harus dipadukan dengan serangkaian kegiatan yang bersifat teknis, sosial budaya, dan kebijaksanaan. Teknologi konservasi hedgerows secara teknis mencerminkan bentuk-bentuk pagar hidup dari tanaman legum pohon, tanaman penguat teras, dan tanaman penutup tanah yang diatur mengikuti garis-garis kontur (Ginting dan Sukandi, 1992; Sudaryono, 1995).
Menurut Hawkins et al (1991), usahatani dengan teknologi konservasi hedgerows merupakan suatu praktek usahatani dengan memadukan tindakan konservasi secara sipil teknis (mekanik) dan biologis (vegetatif) dengan pengaturan tata ruang tanaman semusim, tanaman tahunan, tanaman legum untuk konservasi sekaligus sebagai penghasil pupuk organik dan hijauan pakan ternak, serta rumput; dengan memperhatikan bentuk muka dan ciri bentang lahan.
Sistem tanam pada usahatani konservasi dengan teknologi hedgerows merupakan kombinasi antara tanaman penguat teras, tanaman penutup tanah, tanaman semusim, dan tanaman tahunan. Tanaman semusim dan tanaman tahunan merupakan tanaman yang biasa diusahakan petani setempat. Tanaman semusim terdiri atas tanaman serealia dan palawija, seperti padi gogo, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi kayu. Sedangkan tanaman tahunan diantaranya mangga, petai, nangka, melinjo, dan kelapa (Sudaryono, 1995). Adapun jenis-jenis tanaman yang umum digunakan dalam tanaman pagar, penguat teras dan penutup tanah, meliputi: (a) jenis leguminosa perdu maupun pohon yang sering digunakan sebagai penguat teras dan tanaman pagar dalam sistem pertanaman lorong, seperti: Lamtoro, Kaliandra, Flemingia, Gliriside, dan Hiris; (b) jenis rumput yang sering digunakan sebagai tanaman penguat teras, yaitu meliputi jenis rumput yang ditanam di bibir teras (biasanya rumput yang membentuk rumpun seperti rumput gajah, setaria, dan benggala), dan jenis rumput yang ditanam di tampingan teras (biasanya tumbuh menjalar seperti Brachiaria sp, Cynodon dactylon, Paspalum conjugatum, Penicum repens); dan (c) tanaman penutup tanah, diantaranya Mucuna sp dan Centrosema sp (Abdurrachman dan Prawiradiputra, 1995; Sudaryono,1995).
Teknologi konservasi hedgerow mempunyai peluang besar untuk diadopsi petani lahan kering, karena tanaman hedgerows selain berfungsi mengendalikan aliran permukaan dan erosi, juga memproduksi biomassa pertanian yang berguna untuk rehabilitasi dan penyubur tanah, menghasilkan hijauan pakan ternak yang kaya nutrisi, dan menghasilkan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga dan industri pedesaan (pembakaran bata merah, batu gamping, dan sebagainya).
Pola usahatani dengan teknologi hedgerows melibatkan beberapa jenis tanaman akan menghasilkan ekosistem yang saling menguntungkan, misalnya residu atau daun yang diambil dari hasil pangkasan tanaman pagar yang dilakukan secara periodik dapat dipakai sebagai mulsa atau dimasukkan ke dalam tanah sebagai pupuk hijau bagi tanaman semusim (Baldy and Stigter, 1997). Hasil pangkasan pupuk hijau yang dipakai sebagai mulsa akan dapat mengurangi penguapan lengas tanah, mengendalikan gulma, dan menstabilkan suhu tanah daerah perakaran sehingga memberi jaminan pertumbuhan akar tanaman secara baik (Hawkins et al., 1991).
d. Teknologi Usahatani Terpadu
Menurut Abdurrachman et al., (1997), petani lahan kering tidak mungkin hidup jika ekonomi rumah tangganya hanya tergantung kepada hasil tanaman. Oleh karena itu menurut Abdurrachman et al., (1997) pendekatan yang tepat untuk menjawab tantangan tersebut di atas adalah melalui pendekatan sistem usahatani yang memadukan komoditas tanaman pangan/semusim dengan tanaman tahunan dan ternak dalam suatu model usahatani yang serasi dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki petani.
Model usahatani terpadu yang dikemukakan oleh Abdurrachman et al., (1997) meliputi padi gogo dan palawija (tanaman pangan) yang diatur penanamannya dalam pola tanam setahun, disesuaikan dengan pola curah hujannya seluas 1 ha, tanaman karet seluas 1 ha dan saat penelitian dimulai sudah siap sadap serta ternak yang awalnya terdiri atas 1 ekor sapi, 3 ekor kambing dan 11 ekor ayam buras. Dengan menerapkan model usahatani tersebut pendapatan petani meningkat dari 1.4 juta/tahun pada tahun 1988\1989 menjadi 2.3 juta/tahun pada tahun 1990\1991, sedangkan pendapatan petani yang tidak menerapkan teknologi model usaha tani tersebut berkisar antara 1,1-1,2 juta/tahun.
Dalam model usahatani ini juga terdapat interaksi komplementer antara pengusahaan tanaman dan ternak. Tanaman pangan semusim menghasilkan sisa tanaman (biomass) yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan, di samping rumput atau tanaman pakan (glyricideae atau flemingia) yang sengaja ditanam juga untuk mencegah erosi, sementara ternak memberikan tenaga dan kotoran yang dapat dijadikan pupuk untuk menunjang produksi tanaman. Dengan demikian komoditas tanaman dan ternak ini dapat saling mendukung sistem produksi terlanjutkan (berkelanjutan) apabila dikelola dengan baik. Ditinjau dari kemampuannya dalam meningkatkan produksi dan pendapatan, menurut Abdurrachman et al., (1997), modal usahatani yang melibatkan tanaman dan ternak tersebut sangat tepat dikembangkan di lahan kering termasuk di wilayah Timur Indonesia. Namun demikian, pemilihan jenis taaman dan ternaknya disesuaikan dengan kondisi ekonsistem dan peluang pasar setempat.
Dengan adanya sistem usaha pertanian terpadu, maka diharapkan akan diperoleh keuntungan, antara lain: meningkatkan populasi ternak, buah-buahan, membuka lapangan kerja di pedesaan, keberhasilan konservasi tanah dan air, peningkatan pendapatan/kesejahteraan petani lahan kering (Akhadiarto, 1997).
e. Seleksi Tanaman Adaptif Pada Kondisi Cekaman Lingkungan
Masalah mendasar dan tantangan berat yang harus dihadapi pada lahan kritis adalah bagaimana mengubah lahan tersebut menjadi lahan produktif dan bagaimana menghambat agar lahan kritis tidak semakin meluas. Karena itu berbagai teknik rehabilitasi dan sistem budidaya yang tepat telah banyak dicobakan pada lahan kritis tersebut.
Upaya-upaya yang selama ini dilakukan membutuhkan biaya yang cukup besar dan memerlukan dukungan semua pihak serta perlu dukungan ahli ekofisiologi dan pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas tanaman pangan yang adaptif pada lahan kritis yang memiliki karakteristik cekaman lingkungan tertentu (kesuburan rendah, ketersediaan air terbatas/berlebih dan lain-lain). Tanaman pangan adaptif yang dimaksud adalah tanaman yang di satu sisi mampu beradaptasi dan di sisi lain mampu berproduksi secara optimal sehingga dapat diharapkan sebagai penyedia pangan di masa mendatang.
Pemuliaan tanaman konvensional akan tetap memegang peranan utama dalam perbaikan varietas. Berbagai kelemahan dan keterbatasan cara ini dapat diatasi dengan bantuan bioteknologi. Secara bertahap, bioteknologi akan dikembangkan untuk mendapatkan atau memindahkan gen tertentu untuk menghasilkan varietas baru dengan sifat-sifat yang diinginkan. Meningkatkan produktivitas melalui rekayasa genetik merupakan suatu keuntungan tambahan dalam perbaikan sifat tanaman sehingga varietas yang dihasilkan diharapkan dapat lebih efisien memanfaatkan hara, tahan terhadap hama dan penyakit serta deraan lingkungan (Manwan, 1993).
Informasi mengenai sifat-sifat yang mudah teramati dapat dijadikan penduga bagi sifat yang dituju dalam seleksi tanaman adaptif. Semakin erat hubungan antara sifat penduga dengan sifat yan dituju, maka akan semakin memudahkan proses seleksi. Sifat-sifat yang berperan menentukan adaptif tidaknya suatu tanaman yang ekspresinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh sebab itu fenotipe yang ditemui di lapangan akan sangat beragam. Adapun syarat-syarat seleksi tanaman adaptif terhadap lingkungan kritis adalah tahan terhadap pH tanah rendah, toleran terhadap cekaman air, tahan terhadap defisiensi hara terutama N dan P dan lain-lain.